Senin, 07 November 2011

RSBI BUKAN SEKOLAH UNTUK ORANG MISKIN


RSBI, mendengar namanya saja sudah terbayang hal-hal yang begitu wah. Mulai dari biaya dan lain-lain semuanya serba wah, tapi bagaimana dengan kualitasnya dibandingkan dengan sekolah yang masih berstatus reguler? Tentunya menjadi pertanyaan besar bagi kita.

Beberapa tahun terakhir, rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI), menjadi suatu tren dalam dunia pendidikan kita. Banyak sekolah berlomba-lomba mendapatkan label RSBI. Banyak yang mempelesetkan istilah RSBI dengan arti rintisan sekolah bertarif internasional. Bagi sebagian masyarakat memang ada yang menganggap demikian. RSBI yang digadang-gadang akan menghasilkan lulusan yang benar-benar berkualitas nyatanya masih banyak yang jauh dari harapan.

Selain itu masih banyak problem-problem yang muncul, salah satunya adalah kuota yang disediakan untuk golongan tidak mampu atau miskin. Memang dalam persyaratan penerimaan peserta didik (PPD) disebutkan bahwa 20% dari keseluruhan siswa baru diperuntukkan bagi orang tidak mampu atau miskin. Namun dalam praktiknya tidak demikian, bahkan justru seolah-olah RSBI hanya untuk orang kaya. Yang lebih ironi yaitu ada calon wali murid yang mengaku miskin demi meringankan biaya masuk, padahal sejatinya tergolong mampu.

Dunia pendidikan kita seakan telah menjadi lahan komersialisasi, semuanya harus ada uang. Tanpa uang kita tidak akan pernah mengenyam dunia pendidikan. Terlebih saat ini, dunia pendidikan kita sedang mengalami pasang-surut prestasi. RSBI yang digadang akan mampu meningkatkan kualitas dunia pendidikan ternyata sampai saat ini belum menunjukkan tajinya.

Banyak yang berpendapat bahwa RSBI dan reguler hanya berbeda secara fasilitas belajarnya, sedangkan secara kualitas tidak jauh beda. Kita bisa lihat berdasarkan hasil ujian nasional. Orang-orang miskin yang secara kategori pandai sangat sulit untuk bisa masuk ke sekolah RSBI. Banyak persyaratan yang harus dilalui untuk dapat diterima di RSBI. Walaupun digembar-gemborkan ada kuota 20% untuk orang miskin tapi nyatanya hanya sebuah wacana.

Kuota memang disediakan 20%, tapi itupun jika ada calon siswa yang berasal dari keluarga miskin. Bila tidak ada ya akhirnya kuota tak terpenuhi dan akhirnya murni 100% untuk golongan mampu. Padahal sebenarnya banyak calon siswa dari keluarga tidak mampu yang ingin mendaftar dengan berbekal kemampuan otak saja, tapi melihat realita di lapangan bahwa pendidikan itu tidak ada yang gratis, hanya label atau slogan saja yang digembar-gemborkan.

Pemerintah yang seharusnya lebih memerhatikan malah seolah-olah acuh mengenai masalah ini. Sebenarnya jika pemerintah lebih peduli dan mau bertindak tegas, masalah ini akan dapat terselesaikan. RSBI yang notabene adalah sekolah yang dipersiapkan khusus untuk generasi muda, jangan hanya dijadikan sebagai alat komersialisasi. Parahnya, orang tua murid juga kurang peduli terhadap masalah yang ada. Mereka mungkin hanya berpendapat bahwa sekolah di RSBI akan dipandang lebih wah di mata masyarakat, padahal sejatinya belum tentu kualitas sekolah reguler kalah dari sekolah RSBI.

Selama ini banyak warga dari keluarga tidak mampu yang kesulitan untuk menyekolahkan anak mereka hanya karena terbentur biaya, padahal secara kualitas anak mereka mampu. Seharusnya dalam PPD RSBI harus diperketat seperti halnya yang diterapkan oleh perguruan tinggi. Misalnya dilakukan cross check secara langsung di lapangan bagaimana keadaaan orang tua murid, apakah tergolong mampu atau sebaliknya. Sehingga kuota 20% yang disediakan benar-benar mampu dimanfaatkan dengan baik oleh pihak sekolah untuk menjaring siswa dari keluarga tidak mampu tetapi secara kualitas mampu.

Selain itu, pihak sekolah juga dapat lebih menerapkan sistem subsidi silang dalam mengelola keuangan. Walaupun sudah ada dana BOS dari pemerintah, tapi memang nyatanya dana tersebut masih tidak cukup untuk memenuhi segala kebutuhan sekolah, apalagi untuk sekolah RSBI yang tentunya penggunaan dananya lebih besar daripada sekolah reguler. Pihak sekolah juga dapat memanfaatkan dana dari luar, misalnya dari organisasi pendidikan, sehingga pihak sekolah tidak serta merta hanya mengandalkan dana yang berasal dari wali murid untuk membiayai semua kebutuhan belajar mengajar.