Senin, 07 November 2011

RSBI BUKAN SEKOLAH UNTUK ORANG MISKIN


RSBI, mendengar namanya saja sudah terbayang hal-hal yang begitu wah. Mulai dari biaya dan lain-lain semuanya serba wah, tapi bagaimana dengan kualitasnya dibandingkan dengan sekolah yang masih berstatus reguler? Tentunya menjadi pertanyaan besar bagi kita.

Beberapa tahun terakhir, rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI), menjadi suatu tren dalam dunia pendidikan kita. Banyak sekolah berlomba-lomba mendapatkan label RSBI. Banyak yang mempelesetkan istilah RSBI dengan arti rintisan sekolah bertarif internasional. Bagi sebagian masyarakat memang ada yang menganggap demikian. RSBI yang digadang-gadang akan menghasilkan lulusan yang benar-benar berkualitas nyatanya masih banyak yang jauh dari harapan.

Selain itu masih banyak problem-problem yang muncul, salah satunya adalah kuota yang disediakan untuk golongan tidak mampu atau miskin. Memang dalam persyaratan penerimaan peserta didik (PPD) disebutkan bahwa 20% dari keseluruhan siswa baru diperuntukkan bagi orang tidak mampu atau miskin. Namun dalam praktiknya tidak demikian, bahkan justru seolah-olah RSBI hanya untuk orang kaya. Yang lebih ironi yaitu ada calon wali murid yang mengaku miskin demi meringankan biaya masuk, padahal sejatinya tergolong mampu.

Dunia pendidikan kita seakan telah menjadi lahan komersialisasi, semuanya harus ada uang. Tanpa uang kita tidak akan pernah mengenyam dunia pendidikan. Terlebih saat ini, dunia pendidikan kita sedang mengalami pasang-surut prestasi. RSBI yang digadang akan mampu meningkatkan kualitas dunia pendidikan ternyata sampai saat ini belum menunjukkan tajinya.

Banyak yang berpendapat bahwa RSBI dan reguler hanya berbeda secara fasilitas belajarnya, sedangkan secara kualitas tidak jauh beda. Kita bisa lihat berdasarkan hasil ujian nasional. Orang-orang miskin yang secara kategori pandai sangat sulit untuk bisa masuk ke sekolah RSBI. Banyak persyaratan yang harus dilalui untuk dapat diterima di RSBI. Walaupun digembar-gemborkan ada kuota 20% untuk orang miskin tapi nyatanya hanya sebuah wacana.

Kuota memang disediakan 20%, tapi itupun jika ada calon siswa yang berasal dari keluarga miskin. Bila tidak ada ya akhirnya kuota tak terpenuhi dan akhirnya murni 100% untuk golongan mampu. Padahal sebenarnya banyak calon siswa dari keluarga tidak mampu yang ingin mendaftar dengan berbekal kemampuan otak saja, tapi melihat realita di lapangan bahwa pendidikan itu tidak ada yang gratis, hanya label atau slogan saja yang digembar-gemborkan.

Pemerintah yang seharusnya lebih memerhatikan malah seolah-olah acuh mengenai masalah ini. Sebenarnya jika pemerintah lebih peduli dan mau bertindak tegas, masalah ini akan dapat terselesaikan. RSBI yang notabene adalah sekolah yang dipersiapkan khusus untuk generasi muda, jangan hanya dijadikan sebagai alat komersialisasi. Parahnya, orang tua murid juga kurang peduli terhadap masalah yang ada. Mereka mungkin hanya berpendapat bahwa sekolah di RSBI akan dipandang lebih wah di mata masyarakat, padahal sejatinya belum tentu kualitas sekolah reguler kalah dari sekolah RSBI.

Selama ini banyak warga dari keluarga tidak mampu yang kesulitan untuk menyekolahkan anak mereka hanya karena terbentur biaya, padahal secara kualitas anak mereka mampu. Seharusnya dalam PPD RSBI harus diperketat seperti halnya yang diterapkan oleh perguruan tinggi. Misalnya dilakukan cross check secara langsung di lapangan bagaimana keadaaan orang tua murid, apakah tergolong mampu atau sebaliknya. Sehingga kuota 20% yang disediakan benar-benar mampu dimanfaatkan dengan baik oleh pihak sekolah untuk menjaring siswa dari keluarga tidak mampu tetapi secara kualitas mampu.

Selain itu, pihak sekolah juga dapat lebih menerapkan sistem subsidi silang dalam mengelola keuangan. Walaupun sudah ada dana BOS dari pemerintah, tapi memang nyatanya dana tersebut masih tidak cukup untuk memenuhi segala kebutuhan sekolah, apalagi untuk sekolah RSBI yang tentunya penggunaan dananya lebih besar daripada sekolah reguler. Pihak sekolah juga dapat memanfaatkan dana dari luar, misalnya dari organisasi pendidikan, sehingga pihak sekolah tidak serta merta hanya mengandalkan dana yang berasal dari wali murid untuk membiayai semua kebutuhan belajar mengajar.

Minggu, 05 September 2010

DIJUAL SONY VAIO VGN-UX 180P NOTEBOOK PORTABLE NET



Fasilitas :
1. Geunine intel CPU U 1400@1,20GHZ
2.Hardisk 30 GB
3.Ram 512 MB
4.Lan (Wifi)
5.Bluotoot
6.Micro SD
7.Tools Screen
8.Windos Vista / Xp
9. Complit (Adaptor dan Sounds)
10. Barang Bagus
11. Jaminan Sony
12. Garansi 1 minggu
13. Camera 2


Harganya 4,500,000 jt. (bisa dinego)
bagi anda yang berminat bisa sms /telpon ke No. 085640743292 (eko), 085727179883 (Amin)

Sabtu, 10 Juli 2010

Cerita Inspiratif

Kiat Gemar Membaca Buku Ala Ayatullah Ali Khamene'i





Ada sejumlah nasihat Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran atau Rahbar ‎Ayatullah al-Udzma Sayyid Ali Khamenei terkait urgensi buku dan budaya ‎membaca setiap kali mengunjungi Pameran Buku Internasional Tehran.‎



Membaca Buku Harus Menjadi Kebiasaan
Ayatullah Sayyid Ali Khamenei seusai mengunjungi Pameran Buku ‎Internasional Tehran Ke-3 pada 9 Mei 1990 dalam sebuah wawancaranya ‎mengatakan, "Membaca buku harus menjadi budaya kita. Kita harus ‎membiasakan anak-anak membaca buku sejak kecil. Biarkan mereka ‎membaca buku apa saja yang diinginkannya. Saat senggang seperti hari ‎Jumat pastikan di hari itu ada kesempatan untuk membaca buku. Pastikan ‎juga di musim panas saat liburan sekolah para remaja dan pemuda membaca ‎buku. Biarkan mereka menentukan sendiri buku apa yang ingin dibaca hingga ‎akhir. Orang-orang yang memiliki pekerjaan sehari-hari seperti para pegawai ‎kantor, buruh, pedagang dan atau petani saat tiba di rumah hendaknya ‎menyisihkan sebagian waktunya untuk membaca buku.‎
Bayangkan berapa banyak buku yang dapat dibaca selama setengah jam! ‎Saya pribadi sempat menghabiskan buku 20 jilid atau lebih dengan ‎menyisihkan waktu setiap harinya 10, 20 dan 45 menit.‎


Baca Buku Rutinitas Sebelum Tidur
Ayatullah Sayyid Ali Khamenei pada 16 Mei 1999 saat mengunjungi Pameran ‎Buku Internasional Tehran mengatakan, "Semua anggota keluarga kami ‎tanpa terkecuali setiap malam pasti tertidur dalam keadaan membaca buku. ‎Saya sendiri juga demikian. Bukan di pertengahan membaca kemudian saya ‎tertidur, tapi saya membaca supaya mengantuk. Setelah itu saya meletakkan ‎buku lalu beranjak tidur. Seluruh anggota keluarga kami ketika hendak tidur ‎pasti ada buku di sisi mereka. Menurut saya setiap keluarga Iran hendaknya ‎melakukan hal yang seperti ini. Saya sangat berharap setiap orang tua ‎membiasakan anak-anaknya sejak awal dengan buku, bahkan anak-anak ‎sejak kecil sudah harus akrab dengan buku.‎


Baca Buku Bahkan di Bus
Pada 11 Mei 1996 di ‎Pameran Buku Internasional Tehran beliau mengatakan, "Saya sangat ‎berharap masyarakat yang waktunya hilang begitu saja, seperti di bus, taksi, ‎kendaraan pribadi dan di ruang-ruang tunggu semisal di ruang tunggu dokter. ‎Semestinya mereka dapat menghabiskannya dengan membaca buku. Oleh ‎karena itu, setiap orang harus punya persiapan buku saku mereka. Saat ‎duduk di bus, mereka bisa menghabiskan waktunya dengan membaca hingga ‎sampai ke tempat tujuan. Ketika tiba di tujuan, halaman yang dibaca ditandai ‎untuk kemudian dilanjutkan di waktu lain.‎
Saya pribadi menamatkan membaca beberapa jilid buku tebal di bus. Hal itu ‎terjadi sebelum kemenangan Revolusi Islam Iran. Waktu saya punya kerjaan ‎yang memaksa untuk bolak-balik Tehran-Mashad. Kondisi dalam bus pada ‎waktu itu sangat menganggu penumpang. Saya berusaha untuk memandang ‎terus ke bawah dan satu-satunya pekerjaan yang paling tepat adalah ‎membaca buku. Sejam saya menghabiskan waktu di bus dengan membaca ‎buku dan tidak ada waktu yang terbuang. Tempat kosong di bus biasanya ada ‎setelah sejam, terkadang juga kurang dari itu. Tapi bagaimanapun juga setiap ‎jam yang terlewatkan tidak begitu terasa buat saya karena waktu kosong saya ‎terisi dengan membaca buku.‎

Baca buku Saat TV Tayangkan Iklan
"Terkadang kalian menyaksikan seseorang yang duduk di depan televisi ‎menanti sebuah tayangan film. Saat itu televisi menayangkan iklan dan ‎terkadang iklan sedemikian lamanya selama tayangan film itu hingga 20 ‎menit. Mengapa orang harus menanti tanpa ada yang dilakukan selama 20 ‎menit? Semestinya ada sebuah buku di tangan dan dimanfaatkan untuk ‎membacanya selama 20 menit. Bila masyarakat kita punya kebiasaan ‎memanfaatkan waktu kosongnya untuk membaca buku, masyarakat kita akan ‎sangat maju, begitu juga budaya negara ini.

sumber:http://indonesian.irib.ir dengan perubahan judul.

sungguh dengan adanya wacana diatas saya merasa bodh sekali jika saya tidak pernah membaca dan membuka buku.

Senin, 12 April 2010

Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah


NABI MUHAMMAD (570 SM - 632 SM)

Jatuhnya pilihan saya kepada Nabi Muhammad dalam urutan pertama daftar Seratus Tokoh yang berpengaruh di dunia mungkin mengejutkan sementara pembaca dan mungkin jadi tanda tanya sebagian yang lain. Tapi saya berpegang pada keyakinan saya, dialah Nabi Muhammad satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih sukses-sukses luar biasa baik ditilik dari ukuran agama maupun ruang lingkup duniawi.

Berasal-usul dari keluarga sederhana, Muhammad menegakkan dan menyebarkan salah satu dari agama terbesar di dunia, Agama Islam. Dan pada saat yang bersamaan tampil sebagai seorang pemimpin tangguh, tulen, dan efektif. Kini tiga belas abad sesudah wafatnya, pengaruhnya masih tetap kuat dan mendalam serta berakar.

Sebagian besar dari orang-orang yang tercantum di dalam buku ini merupakan makhluk beruntung karena lahir dan dibesarkan di pusat-pusat peradaban manusia, berkultur tinggi dan tempat perputaran politik bangsa-bangsa. Muhammad lahir pada tahun 570 M, di kota Mekkah, di bagian agak selatan Jazirah Arabia, suatu tempat yang waktu itu merupakan daerah yang paling terbelakang di dunia, jauh dari pusat perdagangan, seni maupun ilmu pengetahuan. Menjadi yatim-piatu di umur enam tahun, dibesarkan dalam situasi sekitar yang sederhana dan rendah hati. Sumber-sumber Islam menyebutkan bahwa Muhamnmad seorang buta huruf. Keadaan ekonominya baru mulai membaik di umur dua puluh lima tahun tatkala dia kawin dengan seorang janda berada. Bagaimanapun, sampai mendekati umur empat puluh tahun nyaris tak tampak petunjuk keluarbiasaannya sebagai manusia.

Umumnya, bangsa Arab saat itu tak memeluk agama tertentu kecuali penyembah berhala Di kota Mekkah ada sejumlah kecil pemeluk-pemeluk Agama Yahudi dan Nasrani, dan besar kemungkinan dari merekalah Muhammad untuk pertama kali mendengar perihal adanya satu Tuhan Yang Mahakuasa, yang mengatur seantero alam. Tatkala dia berusia empatpuluh tahun, Muhammad yakin bahwa Tuhan Yang Maha Esa ini menyampaikan sesuatu kepadanya dan memilihnya untuk jadi penyebar kepercayaan yang benar.

Selama tiga tahun Muhammad hanya menyebar agama terbatas pada kawan-kawan dekat dan kerabatnya. Baru tatkala memasuki tahun 613 dia mulai tampil di depan publik. Begitu dia sedikit demi sedikit punya pengikut, penguasa Mekkah memandangnya sebagai orang berbahaya, pembikin onar. Di tahun 622, cemas terhadap keselamatannya, Muhammad hijrah ke Madinah, kota di utara Mekkah berjarak 200 mil. Di kota itu dia ditawari posisi kekuasaan politik yang cukup meyakinkan.

Peristiwa hijrah ini merupakan titik balik penting bagi kehidupan Nabi. Di Mekkah dia susah memperoleh sejumlah kecil pengikut, dan di Medinah pengikutnya makin bertambah sehingga dalam tempo cepat dia dapat memperoleh pengaruh yang menjadikannya seorang pemegang kekuasaan yang sesungguhnya. Pada tahun-tahun berikutnya sementara pengikut Muhammad bertumbuhan bagai jamur, serentetan pertempuran pecah antara Mektah dan Madinah. Peperangan ini berakhir tahun 630 dengan kemenangan pada pihak Muhammad, kembali ke Mekkah selaku penakluk. Sisa dua setengah tahun dari hidupnya dia menyaksikan kemajuan luar-biasa dalam hal cepatnya suku-suku Arab memeluk Agama Islam. Dan tatkala Muhammad wafat tahun 632, dia sudah memastikan dirinya selaku penguasa efektif seantero Jazirah Arabia bagian selatan.

Suku Bedewi punya tradisi turun-temurun sebagai prajurit-prajurit yang tangguh dan berani. Tapi, jumlah mereka tidaklah banyak dan senantiasa tergoda perpecahan dan saling melabrak satu sama lain. Itu sebabnya mereka tidak bisa mengungguli tentara dari kerajaan-kerajaan yang mapan di daerah pertanian di belahan utara. Tapi, Muhammadlah orang pertama dalam sejarah, berkat dorongan kuat kepercayaan kepada keesaan Tuhan, pasukan Arab yang kecil itu sanggup melakukan serentetan penaklukan yang mencengangkan dalam sejarah manusia. Di sebelah timurlaut Arab berdiri Kekaisaran Persia Baru Sassanids yang luas. Di baratlaut Arabia berdiri Byzantine atau Kekaisaran Romawi Timur dengan Konstantinopel sebagai pusatnya.

Ditilik dari sudut jumlah dan ukuran, jelas Arab tidak bakal mampu menghadapinya. Namun, di medan pertempuran, pasukan Arab yang membara semangatnya dengan sapuan kilat dapat menaklukkan Mesopotamia, Siria, dan Palestina. Pada tahun 642 Mesir direbut dari genggaman Kekaisaran Byzantine, dan sementara itu balatentara Persia dihajar dalam pertempuran yang amat menentukan di Qadisiya tahun 637 dan di Nehavend tahun 642.

Tapi, penaklukan besar-besaran --di bawah pimpinan sahabat Nabi dan penggantinya Abu Bakr dan Umar ibn al-Khattab-- itu tidak menunjukkan tanda-tanda stop sampai di situ. Pada tahun 711, pasukan Arab telah menyapu habis Afrika Utara hingga ke tepi Samudera Atlantik. Dari situ mereka membelok ke utara dan menyeberangi Selat Gibraltar dan melabrak kerajaan Visigothic di Spanyol.

Sepintas lalu orang mesti mengira pasukan Muslim akan membabat habis semua Nasrani Eropa. Tapi pada tahun 732, dalam pertempuran yang masyhur dan dahsyat di Tours, satu pasukan Muslimin yang telah maju ke pusat negeri Perancis pada akhirnya dipukul oleh orang-orang Frank. Biarpun begitu, hanya dalam tempo secuwil abad pertempuran, orang-orang Bedewi ini -dijiwai dengan ucapan-ucapan Nabi Muhammad- telah mendirikan sebuah empirium membentang dari perbatasan India hingga pasir putih tepi pantai Samudera Atlantik, sebuah empirium terbesar yang pernah dikenal sejarah manusia. Dan di mana pun penaklukan dilakukan oleh pasukan Muslim, selalu disusul dengan berbondong-bondongnya pemeluk masuk Agama Islam.

Ternyata, tidak semua penaklukan wilayah itu bersifat permanen. Orang-orang Persia, walaupun masih tetap penganut setia Agama Islam, merebut kembali kemerdekaannya dari tangan Arab. Dan di Spanyol, sesudah melalui peperangan tujuh abad lamanya akhirnya berhasil dikuasai kembali oleh orang-orang Nasrani. Sementara itu, Mesopotamia dan Mesir dua tempat kelahiran kebudayaan purba, tetap berada di tangan Arab seperti halnya seantero pantai utara Afrika. Agama Islam, tentu saja, menyebar terus dari satu abad ke abad lain, jauh melangkah dari daerah taklukan. Umumnya jutaan penganut Islam bertebaran di Afrika, Asia Tengah, lebih-lebih Pakistan dan India sebelah utara serta Indonesia. Di Indonesia, Agama Islam yang baru itu merupakan faktor pemersatu. Di anak benua India, nyaris kebalikannya: adanya agama baru itu menjadi sebab utama terjadinya perpecahan.

Apakah pengaruh Nabi Muhammad yang paling mendasar terhadap sejarah ummat manusia? Seperti halnya lain-lain agama juga, Islam punya pengaruh luar biasa besarnya terhadap para penganutnya. Itu sebabnya mengapa penyebar-penyebar agama besar di dunia semua dapat tempat dalam buku ini. Jika diukur dari jumlah, banyaknya pemeluk Agama Nasrani dua kali lipat besarnya dari pemeluk Agama Islam, dengan sendirinya timbul tanda tanya apa alasan menempatkan urutan Nabi Muhammad lebih tinggi dari Nabi Isa dalam daftar. Ada dua alasan pokok yang jadi pegangan saya. Pertama, Muhammad memainkan peranan jauh lebih penting dalam pengembangan Islam ketimbang peranan Nabi Isa terhadap Agama Nasrani. Biarpun Nabi Isa bertanggung jawab terhadap ajaran-ajaran pokok moral dan etika Kristen (sampai batas tertentu berbeda dengan Yudaisme), St. Paul merupakan tokoh penyebar utama teologi Kristen, tokoh penyebarnya, dan penulis bagian terbesar dari Perjanjian Lama.

Sebaliknya Muhammad bukan saja bertanggung jawab terhadap teologi Islam tapi sekaligus juga terhadap pokok-pokok etika dan moralnya. Tambahan pula dia "pencatat" Kitab Suci Al-Quran, kumpulan wahyu kepada Muhammad yang diyakininya berasal langsung dari Allah. Sebagian terbesar dari wahyu ini disalin dengan penuh kesungguhan selama Muhammad masih hidup dan kemudian dihimpun dalam bentuk yang tak tergoyangkan tak lama sesudah dia wafat. Al-Quran dengan demikian berkaitan erat dengan pandangan-pandangan Muhammad serta ajaran-ajarannya karena dia bersandar pada wahyu Tuhan. Sebaliknya, tak ada satu pun kumpulan yang begitu terperinci dari ajaran-ajaran Isa yang masih dapat dijumpai di masa sekarang. Karena Al-Quran bagi kaum Muslimin sedikit banyak sama pentingnya dengan Injil bagi kaum Nasrani, pengaruh Muhammad dengan perantaraan Al-Quran teramatlah besarnya. Kemungkinan pengaruh Muhammad dalam Islam lebih besar dari pengaruh Isa dan St. Paul dalam dunia Kristen digabung jadi satu. Diukur dari semata mata sudut agama, tampaknya pengaruh Muhammad setara dengan Isa dalam sejarah kemanusiaan.

Lebih jauh dari itu (berbeda dengan Isa) Muhammad bukan semata pemimpin agama tapi juga pemimpin duniawi. Fakta menunjukkan, selaku kekuatan pendorong terhadap gerak penaklukan yang dilakukan bangsa Arab, pengaruh kepemimpinan politiknya berada dalam posisi terdepan sepanjang waktu.

Dari pelbagai peristiwa sejarah, orang bisa saja berkata hal itu bisa terjadi tanpa kepemimpinan khusus dari seseorang yang mengepalai mereka. Misalnya, koloni-koloni di Amerika Selatan mungkin saja bisa membebaskan diri dari kolonialisme Spanyol walau Simon Bolivar tak pernah ada di dunia. Tapi, misal ini tidak berlaku pada gerak penaklukan yang dilakukan bangsa Arab. Tak ada kejadian serupa sebelum Muhammad dan tak ada alasan untuk menyangkal bahwa penaklukan bisa terjadi dan berhasil tanpa Muhammad. Satu-satunya kemiripan dalam hal penaklukan dalam sejarah manusia di abad ke-13 yang sebagian terpokok berkat pengaruh Jengis Khan. Penaklukan ini, walau lebih luas jangkauannya ketimbang apa yang dilakukan bangsa Arab, tidaklah bisa membuktikan kemapanan, dan kini satu-satunya daerah yang diduduki oleh bangsa Mongol hanyalah wilayah yang sama dengan sebelum masa Jengis Khan

Ini jelas menunjukkan beda besar dengan penaklukan yang dilakukan oleh bangsa Arab. Membentang dari Irak hingga Maroko, terbentang rantai bangsa Arab yang bersatu, bukan semata berkat anutan Agama Islam tapi juga dari jurusan bahasa Arabnya, sejarah dan kebudayaan. Posisi sentral Al-Quran di kalangan kaum Muslimin dan tertulisnya dalam bahasa Arab, besar kemungkinan merupakan sebab mengapa bahasa Arab tidak terpecah-pecah ke dalam dialek-dialek yang berantarakan. Jika tidak, boleh jadi sudah akan terjadi di abad ke l3. Perbedaan dan pembagian Arab ke dalam beberapa negara tentu terjadi -tentu saja- dan nyatanya memang begitu, tapi perpecahan yang bersifat sebagian-sebagian itu jangan lantas membuat kita alpa bahwa persatuan mereka masih berwujud. Tapi, baik Iran maupun Indonesia yang kedua-duanya negeri berpenduduk Muslimin dan keduanya penghasil minyak, tidak ikut bergabung dalam sikap embargo minyak pada musim dingin tahun 1973 - 1974. Sebaliknya bukanlah barang kebetulan jika semua negara Arab, semata-mata negara Arab, yang mengambil langkah embargo minyak.

Jadi, dapatlah kita saksikan, penaklukan yang dilakukan bangsa Arab di abad ke-7 terus memainkan peranan penting dalam sejarah ummat manusia hingga saat ini. Dari segi inilah saya menilai adanya kombinasi tak terbandingkan antara segi agama dan segi duniawi yang melekat pada pengaruh diri Muhammad sehingga saya menganggap Muhammad dalam arti pribadi adalah manusia yang paling berpengaruh dalam sejarah manusia.

Cara menghilangkan Pesan Pada Windos Genuine Advantage

Cara Menghilangkan Pesan Windows Genuine Advantage (WGA) pada Microsoft Windows Xp
Langkah - langkahnya nya adalah sebagai berikut :

1. Buka Task Manager dengan Ctrl+Alt+Del
2. Matikan proses yang bernama “wgatray.exe”
3. Restart/reboot komputer dan masuklah ke dalam safe mode
4. Pada safe mode, buka registry editor ato regedit melalui menu Run. Ketik regedit kemudian enter
5. Pada regedit, carilah HKEY_LOCAL_MACHINE\SOFTWARE\microsoft\windowsNT\CurrentVersion\Winlogon\Notify, kemudian hapus folder/directory “WGALOGON”
6. Restart kembali komputer seperti biasa…

Selasa, 29 Desember 2009

Relasi Santri dan Kyai



Di kalangan masyarakat santri, figur kiai, secara umum kerap dipersepsikan masyarakat sebagai pribadi yang integratif dan merupakan cerminan tradisi keilmuan dan kepemimpinan, ‘alim, menguasai ilmu agama (tafaqquh fi al-din) dan mengedepankan penampilan perilaku berbudi yang patut diteladani umatnya. Semakin tinggi tingkat kealiman dan rasa tawadlu’ kiai akan semakin tinggi pula derajat penghormatan yang diberikan santri dan masyarakat.

Sebaliknya, derajat penghormatan umat kepada kiai akan berkurang seiring dengan minimnya penguasaan ilmu dan rendahnya rasa tawadlu’ pada dirinya, sehingga tampak tak berwibawa lagi dihadapan umatnya. Konsepsi kewibawaan ini telah mendifinisikan fungsinya menjadi etika normatif dunia pesantren, yang oleh budayawan Mohamad Sobari disebut sebagai tipe kewibawaan tradisional.

Ciri pertamanya adalah, penggunaan kekuasaan pribadi yang dihimpun melalui peranan masa lampau dari seseorang sebagai penyedia, pelindung, pendidik, sumber nilai-nilai, dan status unggul dari mereka yang memiliki hubungan ketergantungan yang mapan dengan orang tersebut. Adapun indikasi yang lain, bahwa sumber-sumber kewibawaan tradisional tersebut terletak pada posisinya menjadi sesepuh (orang yang dituakan), sebagai sosok ayah, orang yang dapat dipercaya, orang yang dihargai, berkedudukan resmi, memiliki penguasaan ilmu pengetahuan agama, dan posisinya sebagai pemangku lembaga agama (pesantren).

Derajat kewibawaan-kharismatik ini dalam bentuk penghormatan serta ketaatan massa yang bersifat total dan, bahkan ada ciri taqlid buta, sehingga terhadap penilaian suatu perkara tertentu tak lagi perlu ada pertanyaan, gugatan atau diperdebatkan secara kritis (Sobari, 1998: 132). Hal ini diperoleh kiai atas konsekuensi logis dari segi penguasaan yang mumpuni terhadap ilmu-ilmu agama juga diimbangi oleh pancaran budi pekerti mulia, penampakan akhlak al-karimah yang menyebabkan kiai, di mata umatnya, dipandang bukan semata teladan ilmu, melainkan juga sebagai teladan laku: suatu elemen keteladanan yang bersifat sangat fundamental. Unsur berkah keteladanan yang membawa implikasi pada kecintaan, dan kepatuhan atau ketaatan mutlak kepada sang pemimpin kharismatik sehingga dianggap memiliki karomah.

Oleh karenanya, secara otomatis pada dirinya dinilai sebagai orang berotoritas. Adalah bukti nyata bahwa fenomena kewibawaan spiritual kharismatik ternyata telah melintas batas rasionalitas. Apapun yang dikatakan orang, masa bodoh! Demikian adalah prinsip yang dipegang kuat-kuat di kalangan santri tradisonal meskipun kadang kala ia telah berada di luar habitatnya. Atas dasar inilah maka kemudian muncul pola hubungan patron-klien antara kiai dan santri yang bersifat unik serta menarik diamati.

Sebagai ilustrasi, menurut keyakinan santri, mencium tangan Kiai merupakan berkah dan dinilai ibadah, meski orang-orang yang berpandangan puritan mengejeknya sebagai “kultus” individu, dan karena itu syirik. Mereka tetap tak peduli, sebab mereka beranggapan tidak mencium “tangan” yang sebenarnya, karena perbuatan tersebut sedang memberikan penghormatan yang dalam kepada suatu “otoritas”, yaitu kiai.

Dengan demikian, predikat nilai ke-Kiai-an yang berotoritas dan menyandang kewibawaan spiritual kharismatik bukanlah sangat bergantung pada garis keturunan atau karena dari faktor nasabiah, melainkan harus pula ditempuh dengan cara-cara yang rasional, karena tergantung kepada derajat kealiman juga diimbangi oleh teladan perilaku berbudi (akhlak al-karimah). Dalam arti, secara teoritik dan formal bahwa seorang pengasuh pesantren memang harus memiliki kompetensi yang memadai dan telah pula memiliki religious commitment yang kuat. Yaitu penampilan sosok pribadi yang integratif antara ilmu dan amaliahnya.

Aspek-aspek komitmen religius yang kuat itu meliputi,
  • aspek keyakinan (the belief dimension),
  • ritual peribadatan beserta aurad-dzikirnya (religious practice: ritual and devotion),
  • pengalaman keagamaan (the experience dimension),
  • pengalaman batiniah/rohaniah (spiritual dimension),
Pengetahuan agamanya maupun kosekuensi-konsekuensi amaliah seorang Muslim yang terbentuk secara baik. Maka tidak mengherankan dengan potensi dan kompetensi tersebut kalau seorang kiai pesantren menduduki posisi puncak yang kukuh dalam struktur sosial terutama dalam lingkaran komunitas pesantren. Munculnya fenomena kewibawaan kharismatik tersebut juga dapat ditelaah secara kritis dalam perspektif konsepsi-teori relasi-kuasa model Michel Foucault (2002), yang mendaraskan adanya kuasa pengetahuan sehingga melahirkan otoritas dan power pada seseorang karena memiliki kewibawaan kharismatik.

Pada telaah kasus lain, kita bisa menganalisa bahwa, meskipun kedudukan kiai berada di puncak struktur sosial pesantren, bukan berarti ia tetap berposisi sebagai subyek kekuasaan, apabila hal itu dilihat dari perspektif relasi kuasa-pengetahuan. Kemungkinan dalam hal ini posisi kiai (pengasuh) dan santri adalah sama, sebagai obyek power walaupun keduanya berbeda status, yakni obyek daripada pengetahuan yang “menghegimoni” tadi.

Kita ketahui bahwa sebagai pewaris Nabi, apa yang dilakukan kiai adalah semata-mata karena dilandasi doktrin ikhlas-lillahi ta’ala, demi mengharap ridlo Allah Swt dan derajat darul akherat. Ia mengabdikan hidupnya di pesantren karena untuk merealisasikan sabda Rasul Saw; “Sampaikan dariku meskipun cuma satu ayat”. Juga perintah Rasulallah Saw yaitu, “Barangsiapa menyimpan suatu ilmu (agama) maka ia karena ulahnya itu besok di akherat akan disiksa dengan cemeti dari api neraka”. Pendek kata, tugas mengampu pesantren, mendidik dan membimbing santri adalah kewajiban agama yang sudah semestinya menjadi tanggung jawab seorang kiai sebagai penjaga tradisi pesantren.

Sementara di pihak lain, kepatuhan dan penghormatan yang diberikan santri kepada kiainya adalah karena demi mendapatkah berkah (kebaikan) dari Allah Swt, juga berharap agar ilmunya nanti bermanfaat. Ritus yang mereka jalani itu termasuk bagaian dari mengamalkan ajara tradisi agama. Disebutkan dalam korpus resmi pesantren, yaitu dalam kitab Ta’lim Al-Muta’allim karangan Syaikh Zarnuji (1963: 60), sebagai berikut: “Mereka yang mencari pengetahuan hendaklah selalu ingat bahwa mereka tidak akan pernah mendapatkan pengetahuan atau pengetahuannya tidak berguna, kecuali kalau ia menaruh hormat kepada pengetahuan tersebut dan juga menaruh hormat kepada guru yang mengajarkannya. Hormat kepada guru/kiai bukan hanya sekedar patuh. Dikatakan pula oleh Imam Ali ra, “Saya ini adalah hamba dari orang yang mengajari saya (Rasulallah), walaupun hanya satu kata saja.”

Para santri harus menunjukkan rasa hormat dan takzim serta “kepatuhan mutlak” kepada kiai dan ustdznya, bukan manivestasi dari penyerahan total kepada orang-orang yang dianggap memiliki otoritas, tetapi karena suatu keyakinan atas kedudukan guru sebagai penyalur kemurahan (barokah) Tuhan yang dilimpahkan kepada murid-muridnya, baik ketika hidup di dunia maupun di akherat.

Lebih lanjut, Syaikh Zarnuji (1963: 63) mengatakan, menurut ajaran Islam, murid (santri) harus menganggap guru/kiai seperti ayah kandungnya sendiri, sebagai-mana dikatakan dalam sebuah hadits Nabi Saw:“Dan sesungguhnyalah, orang yang mengajarmu walaupun hanya sepatah kata dalam pengetahuan agama adalah ayahmu menurut ajaran Islam”. Hadits ini memberikan justifikasi bahwa apabila santri tidak taat dan patuh pada kiainya berarti secara terang-terangan telah menyalahi apa yang telah dianjurkan oleh baginda Rasul Muhammad Saw.

Berdasarkan korpus resmi ala pesantren, seperti dijabarkan dalam kitab Ta’lim Al-Muta’allim dan kitab-kitab sejenisnya yang memberikan kontribusi pada sistem nilai yang dianut warga pesantren, kemudian diintrodusir sedemikian rupa dalam praktek-praktek kehidupan santri baik dalam bentuk konvensi-konvensi atau menjadi teknik-teknik disipliner sehingga menjadi tatanan etis yang mengatur hubungan kiai dan santri. Yang terus dipelihara (reproduksi), kemudian disosialisasikan dari waktu ke waktu, dari satu generasi ke generasi berikutnya dan akhirnya terinternalisasi pada diri setiap santri.

Melalui cara itulah tertib sosial (social order) di lingkungan pesantren bisa ditegakkan. Sedangkan tindakan apapun yang mencoba menyimpang darinya akan dicap indisipliner, mbalelo dan pantas mendapatkan sangsi (ta’zir) atau dikenakan denda. Adapun sangsi yang ada bisa dalam bentuk sangsi moral, sosial ataupun berupa sangsi fisik, seperti cukur rambut, membersihkan selokan, dan untuk kasus pelangaran yang parah bisa dipulangkan kepada orang tua (di-boyong).

Kendati demikian, haruslah diakui bahwa ketaatan mutlak kepada sang kiai, adalah satu disiplin yang keras dalam pengamalan tradisi sehari-hari, kebersamaan dan persaudaraan di kalangan para santri merupakan hal-hal yang esensial dalam kehidupan pesantren. Mungkin inilah gaya indoktrinasi model pesantren. Dapat pula dikatakan sebagai ruh yang semestinya menopang keberlangsungan hidup pesantren sehingga bisa dipertahankan sampai sekarang. Bahkan dampak pengaruh dari aturan-aturan tersebut membentuk kebiasaan yang terus melekat dan mewarnai perilaku santri hingga berpengaruh pada kehidupan setelah masa-masa tinggal di pondok dulu.

Menelusuri lebih jauh dunia pesantren, maka lazim kita temukan, bahwa pada umumnya setiap santri yang ingin belajar mengaji akan mengatakan kalau tujuan belajar ke pesantren tidak lain karena untuk tabarukan kepada kiai. Berkah yang dimaksud itu adalah nikmat Allah Swt berupa kesuksesan dalam menuntut ilmu, yang menurut keyakinan mereka dapat diperoleh lantaran atas budi baik serta do’a-do’a yang diberikan oleh sang guru, selain berkah do’a kedua orang tua di rumah.

Menurut tradisi pesantren,
untuk memperoleh berkah itu pada galibnya santri akan menempuhnya melalui dua cara, yaitu;
  1. Pertama, melakukan riyadhah (olah rohani). Orang Jawa menyebutnya tirakat atau laku keprihatinan (asketisisme). Pada umumnya santri yang melakukan riyadhah akan memperbanyak amalan puasa sunah, sholat-sholat sunah (qiyamul-lail) atau bacaan wirid tertentu. Hal ini dilakukan selain sebagai upaya mensucikan kondisi rohaniah-spiritual (batin) selain sebagai upaya memperoleh berkah dari Allah Swt. Dengan riyadhah santri berupaya menapaki tangga spiritualitas untuk menjalin hubungan yang lebih dekat kepada Sang Khalik.
  2. Kedua, melakukan pengabdian (khidmah) kepada kiai dan pesantren. Bila santri hendak menempuh cara berkhidmah maka mereka akan berusaha membantu meringankan tugas-tugas kiai/ustadz, misalnya bertindak sebagai khadam atau membantu di rumah kiai seperti, menangani pekerjaan di dapur, menjaga kebersihan rumah, merawat anak kiai, membantu pekerjaan di sawah, atau menangani pekerjaan lainnya. Atau dengan melakukan pekerjaan yang berhubungan langsung dengan urusan pesantren, seperti membantu mengurusi administrasi dan keuangan pesantren, menjadi badal mengajar dan menangani tugas-tugas pondok lainnya.

Berbeda dengan keadaan yang biasa terjadi di luar arena pesantren, di dalam lingkungan pesantren, menjadi khadam kiai di mata penilain para santri merupakan suatu kehormatan tersendiri. Karena bermula dari sinilahlah ia bisa dekat dengan kiai. Artinya mudah diingat dalam do’a kiai, sehingga kebanyakan para santri ‘tradisional’ tetap berkeyakinan; dengan mendapat barokah do’a dari kiai berarti semakin terbuka lebar pintu barokah Tuhan baginya dan bertambah mudahlah untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat.

Tradisi menurut Pandangan Islam
Dapat menganalisis bahwa munculnya tradisi penghormatan (pemuliaan) terhadap sang guru/kiai sejak awal bisa dirunut dari gagasan tentang “ilmu” yang khas dalam pandang masyarakat santri. Ilmu di dalam khazanah pesantren dipahami sebagai “limpahan karunia ketuhanan” (al-athaf rabbaniyyah) yang mengandung berkah. Sumber ilmu adalah Allah Swt, dan tujuan utama daripada pengamalan ilmu juga dalam rangka pendekatan diri kepada-Nya. Ada sebuah ayat dalam Al-Qur’an (al-Baqarah: 269) yang menjelaskan; “wa man yu’ta al-hikmata faqat u’tiya khairan katsira”, barang siapa dikaruniai Allah suatu hikmah atau kebijaksanaan, maka dia memperoleh kebaikan yang banyak. Dijelaskan pula dalam surat al-Mujadalah, ayat 11;“…, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”.


Memang demikianlah adanya dalam pandangan agama Islam, ilmu pengetahuan memperoleh kedudukannya yang sangat tinggi. Dengan mengutip sebuah Hadits Rasullah yang menerangkan tetang keutamaan ilmu, seperti termaktub dalam kitab “Irsyad al-Ibad” karangan Syaikh Zainuddin al-Malibary disebutkan, “Kepada ahli ibadah yang bukan ahli ilmu malaikat akan mempersilahkannya untuk langsung masuk ke dalam surga sendiri; namun kepada ahli ibadah yang juga ahli ilmu malaikat akan memberikan kepadanya kebebasan untuk mengajak bersama masuk ke dalam surga siapa saja yang dikehendaki”.

Berkenaan dengan itu, Syaikh Zarnuji dalam Ta’lim Al-Muta’allim, salah satu kitab klasik yang menjadi referensi utama pesantren tradisional berkomentar;“adapun sebabnya ilmu itu mulia karena ia merupakan alat (wasilah) untuk bertaqwa, yang dengan itu orang akan memperoleh kemuliaan di sisi Allah dan kebahagian abadi dalam kehidupan di akherat kelak”.

Itulah sebabnya, orang yang berilmu disebut orang alim (Arab; al-‘alim) serta menempati kedudukan atau derajatnya yang tinggi dalam pandangan Islam yang kemudian hal ini juga sangat mempengaruhi pandangan masyarakat pesantren. Pola indoktrinasi ini pula yang sekiranya membentuk struktur berpikir (social stok of knowledge) dalam mindset santri sehingga memiliki corak pandangan yang berbeda dengan para sarjana atau akademisi dari kalangan kampus.

Walhasil, bahwa kewibawaan spiritual kharismatik muncul pada diri kiai bukan diperoleh dengan tanpa usaha yang sungguh-sungguh, tetapi derajat itu diperoleh justru setelah melewati proses “dialektika kepatuhan” dalam koridor rasionalitas yang terbilang unik. Pada dasarnya hal itu muncul lantaran karena terbentuknya pola relasi kiai-santri yang besifat reprosikal dan mutualistik.